Love Season Episode 6



Cerita Gay Romantis dan Cerita Gay Sex di padukan ke dalam Cerita Gay Khusus Cowok yang berisi Cerita Gay Bergambar.

love season

            Episode Sebelumnya : Rencana yang Ira siapkan untuk Revan seperti telur di ujung tanduk yang siap jatuh dan pecah. Tak ada kepastian kalau Revan akan menghadiri acara itu. Namun meskipun begitu, Ira siap menanggung resiko dengan gigih untuk melanjutkan rencana tersebut hingga akhir. Meskipun ia tahu akhirnya akan jadi seperti apa teman-temannya kepadanya.

Love Season Episode 6

Saat Sinta telah menghilang dari pandangan mereka, Ira baru membuka mulutnya lagi. “Gimana caranya Doni bisa tahu klo Revan udah pulang atau belum? Dasar cewek aneh.” Gerutunya.
“Cp,, Ra..!” ucap Renata menegur Ira. Ira menatapnya sadis dan menantang seakan berkata ‘Lo mau bilang apa? Kasih gw penjelasan yang bisa bikin gw tutup mulut setelah lo mendecak ke gw.’
“Gw kan udah bilang jangan terlalu berlebihan. Negatif thinking itu bisa bawa negatif impact buat pemikirnya. Contohnya barusan lo udah hampir ngerusak tali pertemanan lo sama Sinta. Terus yang barusan lo sebutin itu hampir menghilangkan kedudukan Doni sebagai teman kelasnya Revan. Doni itu punya rumah di dekat rumahnya Revan. Lo ingat rumah yang tadi dimasukin sama Sinta? Itu rumahnya Doni.” Terang Renata panjang lebar mencoba memberi pengertian dan nasihat kepada sahabatnya.
“Hah..? Lo tau? Kenapa tadi lo gk bilang waktu di rumahnya Revan?” Ira semakin tak percaya pada apa yang tengah terjadi hari ini. Ia mengusap-usap wajahnya dengan tangannya dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Hehe,, sorry tadi gw lupa..”
“Balik lagi nih begonya. Aduh Nat, lo itu pinter apa bego sih? Gw masih bingung sama lo..” rintihan Ira menggema dalam ruang kepalanya yang ia huni sendirian itu.
Sementara itu Geri hanya berdiri diam menerka-nerka kejadian yang dibicarakan oleh dua orang ini. “Udah selesai diskusinya?” selanya mencoba mencari ruang bicara membuat Ira dan Renata berhenti berdiskusi sendiri.
“Eh, iya. Masih ada Geri yah! Lupa.” Sahut Renata polos tak bersalah. Untung saja senyumannya manis, jadi tak susah membuat Geri bungkam melihatnya.
“Sorry ya ,Ger! Kayaknya kita harus nunggu bentar lagi deh. Harapan kita sekarang tinggal Ariel. Soalnya tadi kayaknya mereka keluar bareng, makanya barengan bolos ke sekolah.”
“Oh gitu. Terus, lo udah ngontak ke dia?”
“Klo itu udah, Cuma belum dibalas dari tadi pagi.”
“Mereka belum pasti datang dong?”
“Sorry, Ger!” Ira menundukkan kepalanya. Rasa bersalah muncul di hatinya. 2 kali telah merepotkan teman-temannya hari ini.
“Sorry buat apa, Ra?” Geri mengerti alasan Ira. Dan ia juga mengerti harus berkata apa.
“Sorry karena udah ngerepotin kalian.” Suaranya semakin melemah. Renata mengusap pundaknya sambil menenangkannya.
“Udahlah Ra, gk ada yang perlu dimaafin. Kita justru berterima-kasih sama lo karena udah ngingatin kita. Inikan ulang tahun teman kita juga, bukan teman kamu aja.” Geri tersenyum bangga kepada Ira yang lemah menatapnya. Baru kali ini ia berani berkata seperti itu langsung kepada seseorang. Ternyata ia mampu melakukannya. Membuat seorang teman tersenyum tenang di saat ia hampir menangis karena sesuatu. Menyentuh hati seseorang.
“Iya, Ra. Jangan terlalu banyak mikir yah.” Tambah Renata masih dengan mengusap bahu Ira.
“Makasih ya, Ger! Nat!” Ira kembali tersenyum dan garis semangat kambali hadir di wajah cantiknya.
“Iya sama-sama, Ra. Tapi yah, Cuma kendalanya sekarang adalah ruang dan waktu yang dimiliki oleh teman-teman yang lain Ra. Setelah jam 8 kayaknya mereka udah harus pulang deh.”
“Yah, Ger.. bantuin gw dong! Bikin mereka gk bosan pliss.!”
“Ok, maksimal jam 8 loh..” ucap Geri sembari berjalan masuk.
“Ok, sekarang kita hubungi Ariel lagi.” Ira berkomando sambil menekan-nekan tombol handphonenya. Wajahnya mulai serius dengan semangatnya yang tak ingin gagal dan mengecewakan teman-temannya yang telah ia repotkan. Terutama, ia memang sangat ingin rencana ini berhasil.
“Kenapa gk sekalian Revannya aja dihubungin?” usul Renata sedikit bertanya. Matanya menatap Ira yang masih berkutit dengan tombol-tombol di tangannya itu. Jujur saja pertanyaan itu telah ada di kepala Renata sejak pagi tadi.
“Gk ada yang punya nomornya Revan yang sekarang. Dan dia gk buka akun sosmednya sama sekali. Hampir gk pernah aktif lagi.” Jelas Ira tanpa memindahkan arah pandangannya.
“Oh Gitu..” ucap Renata mengangguk-ngangguk tanda mengerti.
Teet.. Teet..handphone Ariel berbunyi lagi. Cahayanya terlihat terang di tengah kamar Ariel yang gelap tak bercahaya.

<Di Rumah Ariel>
~19.56~
“Van, makasih ya. Hari ini seru banget.” Ariel tersenyum bahagia. Revanbaru saja mengantarnya pulang setelah melakukan banyak hal bersama. “Lo gk mau mampir dulu? Kita makan malam bareng di rumah gw.”
“Gk deh. Gw mau ke apartemen aja.” Jawab Revan tenang.
“Lo beneran gk bisa ke rumah lo? Kenapa gk nginap bareng gw aja? Lagian, klo malam gw sendirian di rumah.” Ariel menjadi murung karena kata-katanya sendiri. Melihat hal itu Revan sedikit berpikir. Namun segera setelah itu Ariel kembali tersenyum. “Tapi gk apa-apa kok. Klo kamu mau ke apartemen kamu, aku juga gk maksa. Yaudah,, Hati-hati yah!”
Ariel menepuk punggung Revan. Ia tak membiarkan Revan mengucap sepatah katapun. Akhirnya dengan terpaksa, Revan yang dilema memilih pergi begitu saja.
Ariel melangkah pelan. Perjalanan panjang dari pagar hingga rumahnya tak dihIraukannya. Satpam, tumbuhan, angin, dan burung tak mampu menarik perhatiannya. Jelas ada yang dipikirkannya. Wajahnya murung tertunduk. Sampai di depan pintu rumahnya, Ariel mengusap sedikit air yang membasahi ujung matanya.
Berbeda dengan beberapa bulan lalu, beberapa bulan terakhir ini ia tak pernah lagi berkata aku pulang atau mengucap salam saat masuk ke dalam rumahnya. Wajah ibunya hadir dalam ingatannya. Suara tawanya bersama dengan ayah dan ibunya semakin jelas di telinganya. Kini air mata yang dihapusnya kembali mengalir dan menjadi semakin deras. Ariel masih mencoba menghapus air matanya lagi. Hatinya melarangnya untuk menangis. Perlahan ia membuka pintu rumahnya.
“Hahh!!!” Ariel menghentak keras melepaskan belenggu yang mengikat dan menyesakkan dadanya. Ia berjalan cepat ke kamar mandi dan segera mencuci wajahnya. Berharap pikirannya akan kembali segar dan sepertinya mulai berhasil. Perlahan senyumnya mulai melebar dan semakin melebar di matanya. Cermin di hadapannya memperlihatkan air mata yangberhasil di samarkan dengan mencuci wajahnya. Ariel masih melangkah pelan. Namun hatinya sudah sedikit tenang. Ia harus sanggup menghadapi semua ini saat ia berdiri seorang diri.
Tak terasa langkahnya telah sampai ke depan pintu kamarnya. Suara handphone di dalam kamarnya baru saja berakhir. Sementara itu, di seberang sana Ira dan Renata terus mencoba.
“Dia nggak ngangkat lagi.” Ira mengeluh. Lebih tepat lagi, ia resah dan khawatir. Rasanya menerima rencana yang telah disiapkan sejak lama itu berakhir sia-sia adalah hal yang sangat menyakitkan.
“Coba lagi, Ra!” saran Renata menambah semangat sahabatnya. Ira tentu menurut dan menekan kembali tombol-tombol handphonenya.
Teet.. Teet.. Teet..
“Ayo dong Riil, angkat please!” mesakipun Ira melonjak-lonjak memanggilnya, namun apalah daya, Ariel tak dapat mendengarnya dalam jarak yang tertaut beberapa mil itu. Yang dapat membantu Ira hanya suara getar ponsel Ariel. Mendengar bunyi itu, Ariel segera masuk ke kamarnya. Cahaya handphonenya yang menonjol di tengah kamar yang gelap itu memudahkannya meraih handphone itu.
Tuut..
Tepat saat di tangannya, handphone itu mati. “Ah, Pake lowbat lagi!” teriak Ariel geram.
“Hah? Dimatiin? Berarti dari tadi Ariel udah dengar, tapi dia emang gk mau ngangkat.” Ira meremas kuat handphone di tangannya. Berharap bahwa itu Ariel yang  akan remuk di tangannya. Renata hanya bisa mengikuti jalan pikiran Ira yang sedang ia lihat saat ini. Seandainya mereka tahu kebenarannya.
“Terus kita giman?” bingung bersarang di kepala Renata ketika melihat Ira berekspresi seperti itu. Sementara Ira sendiri masih memikirkan kelanjutan rencananya. Akankah sia-sia karena amarahnya kepada Ariel?
“Aduh,, charger mana yah? Ah, nyalain lampu dulu deh” Ariel kalang-kabut sendiri di kamarnya. Ia yakin ada sesuatu yang besar telah ia lewatkan hari ini tanpa handphonenya. “Charger! Charger! Charger!” gumamnya tak berhenti sembari mencari letak charger kesayangannya.
“Aha, ini dia nih si manis..” Ariel kembali bertingkah imut. Ia bersorak riang saat menemukan charger kesayangannya itu. Dengan terburu-buru dan hati yang penasaran, ia memasangkan charger itu dengan handphone di tangannya.

<Di Rumah Geri>
Teet.. Teet.. One New Massage from : +6287774669990
Geri segera membuka pesan baru di handphonenya. Ia membacanya dengan suara pelan tertahan, namun dengan senyuman penuh tak tertahankan.
“Tadi aku lupa bilang. Rumah kamu besar juga yah sayang. Halamannya cukup tuh buat dijadiin sawah. Atau mungkin dijadiin kuburan aja. Heheh :*” setelah tersenyum lebar, Geri mulai menekan-nekan layar handphonenya.
“Makasih, tapi kok mau dijadiin kuburan sih? Heheh :*” balasnya ke nomor yang sama.
“Khusus buat kita sayang. Hehehe,, bercanda kok. Kamu lagi ngapain?”
“Aku lagi ada acara ultah temanku nih sayang.”
Teet.. Teet.. pesan masuk lagi.
“Ger!” sebuah suara memanggil Geri dan berhasil membuatnya terkejut. Wajah Geri berubah panik. Seakan tak inggin ada yang tahu tentang apa yang baru saja ia lakukan.
“Kenapa?” sahutnya dengan detak jantung yang tak biasa. Ia segera menuju ke arah sumber suara sambil menyembunyikan handphonenya ke dalam saku celananya. Sementara itu, pengirim sms di seberang sana tersenyum jahat. Ia berpakaian seperti seorang raja kegelapan modern dengan jeans dan jaket bertudung yang serba hitam kegelapan itu. Hanya senyumnya yang terlihat di sana.
“Menyerah?!” Geri berteriak tidak percaya melihat tingkah kedua teman di depannya. Rencana yang cukup menguras tenaga dan emosinya ini harus dibatalkan. Yah memang. Rencana ini memang kurang berantisipasi terhadap kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Seperti Plan A, Revan tidak ke sekolah. Plan B, Revan susah ditemukan. Meskipun begitu, rencana itu memang memiliki persentase keberhasilan yang besar mengingat kenyataan dalam sehari-harinya tentang Revan dan segala rutinitasnya. Setidaknya itulah yang mereka ketahui.
Sementara itu, Ariel telah berhasil menyalakan handphonenya.
Tak.!!” Seperti ditampar oleh seseorang. Ariel membuka matanya besar-besar saat membaca pesan dalam penanda tugas dan acara pentingnya. Kini tulisan 112 missed calls dan 37 new massage di handphonenya tak berarti lagi. Jari jari tangannya bergerak cepat tanpa dikomando. Sesaat kemudian ia menempelkan handphone itu di telinganya.
“Halo Revan? Darurat ,Van. Bantuin Gw Pliss..!” sahut Ariel panik di seberang telepon Revan. “Lo kenapa?” teriak Revan khawatir.

~ To Be Continued..~
           
Update Love Season : Love Season Episode 8
Next : Love Season Episode 7



Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Love Season Episode 6"

Post a Comment