Halo semuanya, maaf yah baru nongol lagi. Kali ini aku akan menceritakan tentang seorang anak manis yang sangat tidak bisa aku diamkan. Namanya fendi. Umurnya masih sekitar 11-12 tahun atau lebih. Aku bingung. Wajahnya kelihatan masih imut, sedangkan tubuhnya sudah lumayan tinggi. Tubuhnya yang mungil Nampak cocok dengan kulit putihnya. Rasanya seperti melihat gadis sma dari jepang yang berbibir kemerahan. :D
Tinggi, kurus, putih,
hidung mancung yang tak mengubah kesan imutnya, mata jernih dengan bulu yang
panjang dan lentik. Warna hitam bulu matanya menambah keindahan pandangannya
yang sayu. Dan yang paling aku suka adalah bibir merahnya yang tipis kenyal
itu. Rasanya aku ingin sekali melumat dan menghisap lidah liar di dalamnya.
Jika melihatnya, rasanya ingin kuusap kedua pipi halusnya dengan lembut lalu
menciuminya dengan kuat sampai dia kepanasan dan melucuti bajunya sendiri.
Awal aku melihatnya
adalah beberapa hari yang lalu, saat pulang dari pekerjaanku menjaga warnet.
Aku biasanya berjalan menuju tempat tinggalku karena aku tidak punya kendaraan
apapun. Tapi aku menyukainya, berjalan rasanya menyenangkan. Selain untuk
berolahraga, aku juga bisa menikmati indahnya waktu, dunia, serta
kesendirianku. Aku bisa mencari wajah-wajah indah dan tubuh-tubuh mempesona
yang akan mengalirkan darahku lebih deras dari biasanya. Aku bisa menggunakan
waktuku untuk memainkan hayalan sensual maupun romantismeku dengan mereka.
Sangat indah.
Hingga suatu hari
jadwal kerjaku kemudian mendapat perubahan hingga aku harus pulang setiap jam 3
sore. Itu adalah waktu yang cukup menyenangkan menurutku. Terbukti dengan hari
pertama aku pulang pada jam tersebut, aku menemukannya.
Jalan berliku dari satu
gang ke gang yang lainnya cukup menguras tenaga. Aku mencuri-curi pandang ke
setiap arah yang di sana berdiri tubuh-tubuh kokoh yang sangat ingin aku
jilati. Ketika mataku menatap mereka, entah kenapa beberapa detik kemudian
mereka pasti mulai sadar dan menatapku balik. Saat itulah aku harus cepat-cepat
menunduk. Aku tak ingin mereka curiga kepadaku.
Tak.. Tak.. Tak.. Hanya
terdengar seperti itu saat aku melewati sebuah gang yang Nampak sunyi itu. Aku menghela
nafas , sedikit penat masih tersisa di hatiku. Aku butuh sesuatu. Sesuatu yang bisa
kupeluk sambil kujilati. Mungkin dada putih berputin9 manis?
“Oh God!” pekikku dalam
hati. Belum selesai aku membayangkannya, aku menemukannya. Seorang anak kecil
berparas sempurna. Ludahku mencair tanpa henti sampai aku harus menelannya
bulat-bulat.dia masih berjarak belasan meter dariku. Bagaimana ini? Aku sangat
menginginkannya. Oh God! Tell Me!
Tak!
“Mas, dompetnya jatuh.”
Kata seorang anak yang kusadari bahwa itu adalah dia. Yes! Aku berhasil. Itu ulahku
sendiri. Aku menjatuhkan dompetku sendiri saat melewati mereka. Hasilnya, aku bisa
berdiri lebih dekat dan lebih lama dengannya.
“Ah, dek. Makasih yah. Kantong
kakak kayaknya rusak deh.”
“Iya mas. Gpp.” Balasnya
tersenyum. Kulihat teman-temannya begitu polos dan tenang. Mereka melihatku
dalam diam dengan mata yang dimicingkan ala anak kecil. Sepertinya memang dia
yang paling tua disini. Tubuhnya juga Nampak kontras dari teman-temannya.
“Oh iya, kalian mau ke
mana? Mau ikut kakak, gk? Nanti kakak beliin eskrim, mau?”
“Gk usah kak. Gak pp.”
ucapnya cepat menolak bujukanku.
“Syy,, kenapa ditolak? Kamu
gak mau makan eskrim? Aku mau.”
“Iya, Di. Panas nih..”
kulihat teman-temannya berbisik ke mukanya. Sepertinya mereka tak setuju dengan
si “Di” ini. Saat itu aku masih menebak-nebak siapa namanya. Adi, Andi, atau
Didi? Yang penting janagn Budi sih,, terlalu jauh dengan parasnya. Heheh…
Karena mereka sedang
berjalan berempat, mendengar 2 orang temannya ingin mengikutiku, si “Di” ini
bingung harus bagaimana. Dia melirik kawannya yang 1 lagi. Namun jawaban yang
ia terima hanya kidikan bahu yang berarti pasrah.
“Ayo! Kakak Cuma mau
berterima kasih aja kok.” Bujukku sekali lagi. Dan ternyata aku berhasil. “Hebat
sekali aku!” puji diriku sendiri dalam hati.
“Dek, kalau mau,
langsung ambil aja yah! Gk usah nanya. Kakak mau beli sesuatu dulu sebentar.” Kataku
pada mereka yang dijawab dengan anggukan. Kemudian aku menuju ke rak yang
menjajakan keperluanku. Kami sedang berada di Indomaret sekarang. Sambil
memilih-milih, aku tertarik untuk melirik mereka yang sedang asyik memilih
eskrimnya. Tapi aku tak melihat si “Di”. Ah, paling lagi nyari sesuatu. Dalam
pikiranku, aku hanya cukup sampai di sini. Rasanya akan sulit untuk mendapatkan
anak kecil ini. Setelah mengambil barang-barangku, aku terkejut melihat si “Di”
sedang mendongak menatapku.
“Mas beli apa?” katanya
dengan tatapan sayunya.
“Ini??” ucapnya lagi. Kali
ini dengan tatapan kosong. Kelihatannya dia terkejut karena aku memegang
beberapa kotak kondom. Sepertinya dia tahu kondom itu untuk apa.
“Sini deh, Di!” ucapku
menarik tangannya. “Umur kamu berapa?”
“12 tahun, Mas.” Jawabnya
masih dengan ekspresi kosong yang sama saat dia melihat barang di tanganku ini.
“Oh, kamu tahu apa ini?”
ia mengangguk dan aku melanjutkan.
“Kamu masih di bawah
umur. Kamu gak perlu tahu kakak lagi ngapain dan buat apa beli ini. Ok?”
terangku panjang lebar. Dia mengangguk. Entah dia mengerti atau tidak. Mungkin aku
terlalu banyak bicara. “Yaudah, sekarang kita beli eskrim, yah!” ajakku
merangkulnya. Dia berjalan dalam diam. Jujur aku takut kalau dia masih syok. Aku
takut kalau dia akan terganggu.
“Nama kamu siapa sih?”
ucapku sebelum sampai di box eskrim. Di sana teman-temannya masih memilih
rupanya.
“Fendi, mas.” Jawabnya dengan
suara yang sangat halus.
“Ooh, Feenddii…”
anggukku mengerti. “kamu suka eskrim apa? Coklat, Buah, atau Vanilla?”
“Aku suka buah.”
“Paddle Pop?” tanyaku
lagi. Dia megangguk. “Kakak juga suka Paddle Pop.” Lanjutku sambil tersenyum. Entah
kenapa aku merasa sangat nyaman memeluknya. Tak ada terpikir hasratku yang
sebelumnya. Kamipun selesai memilih eskrimnya. Sekarang waktunya makan.
“Sekarang kita makan
dimana yang enak?” seruku menarik perhatian mereka. Mereka menatapku bingung. Wajah
mereka benar-benar polos. Aduh!
“Kita makan bareng,
yah!” pintaku memelas. Dasar aku, sama anak kecil aja gk bisa maksa. Untungnya mereka
mengangguk.
“Kita makan di pinggir
rel aja mas, yang enak.” Balas seseorang di antara mereka.
“Ohya? Yuk!” dan kami
menuju rel. Saat asyik duduk dan menikmati eskrim bersama mereka, perlahan aku
mulai merindukan adikku di kampong. Dia sedang apa yah? Batinku. Rasa nyaman
sebagai kakak menjalar sejak tadi di hatiku. Sampai,,,
“Fendi, kamu kok gk
makan?” tanyaku melihat fendi yang Nampak diam.
“Iya mas.” Lalu dia
membuka eskrimnya yang sudah agak meleleh itu.
“Di,*$%^#@@^*#@%$&^%!”
ucap seorang anak yang sejak tadi diam kepada fendi. Lalu tiba-tiba mereka
semua tertawa. Jujur aku sedang tidak mengerti apa yang mereka katakana. Jadi aku
hanya memutar bola mataku. Sedangkan fendi hanya tersipu. Melihatnya begitu,
tanpa sadar mengembalikan gairahku. Ingin sekali rasanya aku mengangkat
wajahnya yang sedang tersipu sambil menunduk itu lalu menciuminya dengan
lembut.
“Slrp,,” bunyi
hisapannya ketika melihat eskrimnya yang meleleh. “Oh, Ya! Lagi dek!” pinta
hatiku. Bibir mungilnya semakin memerah basah karena eskrim yang ada di
mulutnya. “Oh, yeah.” Pasti akan sangat nikmat jika yang sedang diemut itu
adalah punyaku.
“Uhmh,,, Ayo dek, Isep!”
teriak batinku lagi dan lagi. Sampai eskrimnya habis. Sepertinya aku akan punya
bahan onani mala mini. Girangku dalam hati. Kami sudah berpisah. Cukup yang
kudapat namanya, dan bayangannya saat menjilati eskrimnya. Malam yang indahpun
berlalu. Esoknya aku bekerja seperti biasa. Dan pulang seperti kemarin. Aku berharap
bisa menemukannya lagi hari ini.
“FEN.?!” Aku berlari ke
arahnya. Di jalan yang sepi ini, aku melihatnya seorang diri. “Ada apa? Kamu
kenapa?” ia terduduk sendiri dengan memeluk lututnya sendiri. Yang ada dalam pikiranku
hanay dirinya. Entah kenapa hatiku rasanya terpukul melihatnya begitu. Sepertinya
da perasaan yang lebih dari sekedar 5ex untuknya.
“Kamu nangis?” ucapku
mencoba mengangkat wajahnya. Dia tidak menjawab. Saat dia melihat wajahku
sekilas, dia semakin menjadi. Entah kenapa kehadiranku membuatnya semakin
sakit. “Fendi, kamu kenapa? Cerita sama kakak!” aku masih berusaha mendapatkan
retinanya.
“Aku dipukulin mas ku.”
ASTAGA!
“Kenapa? Kok dipukulin?
Mana kakak kamu?” aku terkejut mendengar pengakuannya. Meskipun dia masih
menenggelamkan wajahnya, tapi aku tahu kalau dia sedang menangis.
“Jangan, Mas! Nanti mas
ku marah. Nanti mas mukulin aku lagi. Aku capek! Aku sakit!”
“Cpcpcpcp,,, Sysy…,”
Aku memeluknya. Sebisa mungkin aku mengusap punggungnya agar ia merasa tenang. Sebagai
seseorang yang pernah merasakan sakitnya penganiayaan, aku cukup mengerti isi
hatinya. Jangan nangis sayang, sekarang ada kakak. Ingin sekali aku mengatakan
itu kepadanya. Tak sampai 5 menit, aku melepaskan pelukanku.
“Ayo, ikut kakak, biar
kakak obtain.” Ucapku sambil membelai rambut halusnya.
“Kemana, Mas?”
“Ke rumah kakak.” Jawabku
sambil tersenyum.
“Mas mau apain aku? Ucapnya
mengejutkanku.
“Kamu kok nanya gitu?”
Dia tidak menjawab. Aku hanya menyipitkan mataku. Mencoba menerawang ke dalam
pikirannya. Tapi aku tak dapat memikirkan apa-apa. Yang kudapat hanya
kemungkinan yang aneh-aneh.
“Fen, kamu diapain sama kakak kamu?” tanyaku penasaran. Ternyata tanpa sengaja aku telah menyakitinya. Menyakiti hati kecilnya. Dia semakin rapuh, dia mengeratkan pelukannya pada kakinya sendiri. Dan suara itu,,, suaranya semakin keras. Tangisannya begitu menyakitkan di telingaku. Aku mengerti artinya. Tanpa sadar aku juga ikut menangis.
“Maaf, Fen! Maaf kalau
kakak salah ngomong. Fendi gak perlu malu, anggap kakak gak tahu! Sekarang ayo
kita obati luka kamu dulu. Kakak mohon!” dunia saat itu seakan sudah mati. Tak ada
orang lain selain kami berdua. Berdua di bawah langit yang kelabu. Aku menangis
di depan anak malang yang baru kukenal kemarin sore. Air mataku tak tertahan. Kenyataan
bahwa nasib anak ini yang begitu menyakitkan membuat aku ikut sakit.
“Mas, jangan nangis.”
Ucapnya sambil menatapku. Oh tuhan, aku melihatnya sekarang. Bibirnya berdarah,
matanya membengkak.
“Makanya kamu juga
jangan nangis.” Balasku memintanya tenang. “Sekarang kita obtain luka kamu yah!”
ajakku lagi. Akhirnya dia menurut. Kami pun berdiri dan menuju ke tempat
tinggalku.
Setelah mengunci pintu
kamarku, aku menyuruhnya untuk duduk. Kubiarkan ia duduk di pinggir tempat
tidurku. Sementara aku menyiapkan obat untuknya. Ia sekarang duduk di atas
ranjang dan empuk milikku. Aku sangat menyukai ranjang yang kubeli dengan 80%
uang tidak halal itu. Terutama jika aku bias dipakai di atasnya.
“Ah! Pelan-pelan, Mas!”
pintanya memekik. Aku sudah berusaha semampuku untuk pelan-pelan, tapi
sepertinya tetap akan terasa sakit.
“Tahan, yah! Tinggal dikit
lagi kok.” Lalu dengan ulet aku membersihkan lukanya. Setelah itu kuberikan
obat penyembuh luka dan plaster pada bagian-bagian tertentu. “Udah! Gimana? Masih
ada yang sakit?” ujarku puas. Aku sangat semangat setelah mengobatinya. Tapi ternyata,,
“Masih ada kak.” Jawabnya
berbisik. Ia menundukkan wajahnya. Rasanya hatiku jadi makin emosional. Sementara
kini Fendi telah berdiri. Perlahan tapi pasti, ia mulai melucuti pakaiannya
sendiri.
“Fen?” ucapku tak
tahan. Ada hasrat di sana. Hasrat yang bercampur kasih dan iba. Tubuhnya begitu
indah, namun mulai rusak karena ulah kakaknya. Aku memalingkan wajahku darinya.
Tiba-tiba...
“Mas gak usah takut. Aku
juga sayang kok sama mas.” Oh, Tuhan. Dia barusan bilang apa, aku tak yakin aku
salah dengar.
“Aku sebenarnya suka
sama mas dari kemarin. Mas sudah seperti mas ku. Bedanya mas itu jauh lebih
lembut dari mas ku.” Ya tuhan. Anak ini sungguh dewasa. Parasnya jauh beda
dengan pikirannya. Apa aku pantas menyentuh anak ini? Namun meskipun aku
memikirkan hal itu, mendengar bahwa ia juga menyukaiku, aku langsung berhambur
memeluknya.
“Ah, mas! Sakit!”
pekiknya lagi. “Oh iya, maaf yah.” Ucapku melepas pelukanku. Dia mengangguk
pelan. Setelah melihat lukanya, aku berencana melaporkan kakaknya ke pihak yang
berwenang. Dan aku juga sempat mengajaknya ke dokter, tapi lagi-lagi dia
menolak karena malu.
“Dia juga banyak
terluka karena aku mas.” Sekarang dia mulai merengek. Aku sudah pasti
mengurungkan niatku untuk melaporkan kakaknya.
“Apa yang udah kakak
kamu lakuin buat kamu?” tanyaku penasaran. Tapi dia tidak menjawab. “Ya sudah,
sekarang kamu berbaring, biar kakak yang obatin kamu.” Aku benar-benar kalah
darinya. Diapun menurut dan berbaring tengkurap di atas ranjangku. Tubuhnya tak
ditutupi selembar benangpun. Bahkan meskipun sedang terluka, ia terlihat sangat
indah di mataku. Luka-luka bekas gigitan yang memerah itu begitu kontras dengan
kulit putihnya. Perlahan aku membersihkan kulitnya dengan handuk yang sudah
kubasahi sebelumnya. Kadang dia mendesis karena perih, dan saat itulah aku
menciumi daerah sekitar luka itu. Lembut dan hangat, kucurahkan seluruh aura
kasih sayangku sambil berharap lukanya akan cepat sembuh. Saat itu pula ia
memejamkan matanya meresapi kesejukan aliran listrik dalam dirinya.
0 Response to "Adik Manis, Isep Yah!"
Post a Comment