Obat
Terindah
By : Alif Mahfud
Surat lusuh itu, aku hampir lupa kini dimana terapungnya.
Aku baru saja ingin berkata bahwa benda aneh itu mungkin telah terhanyut
bersama banjir setahun lalu. Untungnya aku teringat, bagaimana aku lupa tentang
sakitku selama dua tahun ini. Kini ia telah terbakar, menjadi abu. Tangan
mungil itu, gadis cantikku telah membakarnya untukku. Based on True Love Story.
Namaku Angga, kini aku sedang terombang ambing dalam
gelombang cinta. Malam ini teman-temanku jadi saksi terbesar perubahan hatiku
yang sejak lama aku impikan. Meski tak mereka sadari. Angga Febrian adalah nama
yang sering terdengar di sekolah mungil kami, terutama ketika upacara bendera
yang rutin kami laksanakan pada senin pagi. Aku adalah seorang yang cukup
terkenal karena kecerdasanku, bukan karena tampangku. Pertama kali namaku tersebar adalah ketika
pengumuman penerimaan murid baru. Aku keluar sebagai peringkat pertama, maka
dengan pasti aku akan memiliki peluang besar mengikuti program kelas akselerasi,
kelas idamanku.
Tiba
hari pertama masa orientasi sekolah kami. Aku dan temanku yang tinggal di
sebuah desa di kabupaten yang jauh dari pusat kota harus merasakan aneh nya
sensasi terlambat. Perjalanan menuju SMA impianku itu sebenarnya hanya memakan
waktu 2 jam. Hanya saja bagi kami yang belum terbiasa bepergian, itu waktu yang
lumayan menguras tenaga. Terlebih karena kami mabuk kendaraan roda empat.
Singkat
cerita, setelah salah masuk kelas kami berhasil menemukan tempat kami
masing-masing. Aku mulai merasa risih sejak pertama menginjakkan kakiku ke
kelas itu. Semua mata tertuju padaku. Ada yang tersenyum padaku. Dua orang
gadis cantik, mereka temanku. Teman SMP dulu yang kini jadi sahabatku.
Sayangnya senyuman mereka dikalahkan oleh tatapan aneh dari seluruh warga
kelas, terutama para gadis. “Ada apa? Apa karena aku terlalu acak-acakan?”
batinku. Hari itu meninggalkan tanda Tanya yang banyak di kepalaku.
----------------------------------------------------------------
Hari Yang Menyebalkan
Beberapa hari usai MOS, aku menemukan hari yang
menyebalkan. Hari itu kami kedatangan tamu. Siswa satu kelasku serentak merasa
heran dengan sesosok yang tiba-tiba mencoba berbaur dengan kami. Entah sejak
kapan dia ada di antara kami yang sedang asyik bercerita. Bla bla bla.. tak
kuingat awalnya dari mana, aku sudah adu mulut dengannya. Kehadirannya membuat
teman-temanku menjahiliku. Akupun pergi memisahkan diri. “siapa sih anak aneh
ini?” gerutu hatiku tak terima diperlakukan seperti itu oleh mereka. Tak lama kemudian
aku tahu namanya Rangga, lengkapnya Adrian Marangga. Beberapa hari kemudian
namanya meleganda, jauh melebihi namaku. Gadis-gadis di kelasku memberinya
banyak gelar, seperti anti badai karena bulu matanya yang lentik bagai unta si
antai badai, dan yang lainnya terlalu banyak hingga aku tak mau mendengarnya
dan tak mengingatnya. Aku masih tak akrab dengnnya meski nama kami mirip.
Hari berganti hari, waktu berjalan mengubah atas menjadi
bawah. Aku tak tahu awalnya dari mana, aku dan Rangga berjalan bersama, belajar
bersama, terlalu banyak waktu yang kami habiskan bersama. aku sempat mendengar
ada obrolan ringan yang mengatakan bahwa kami dua sahabat yang perfect.
Sama-sama ganteng, dan pintar. “Wah, gk salah? Rangga emang ganteng, tapi aku?”
batinku berargumen dengan bukti nyata bahwa selama ini memang jarang sekali
orang yang menyebut paras ini tampan. Bibirku tebal tapi tidak doer kebawah
atau keatas, hidungku terlalu besar, begitu pula lubangnya, alis tebal dan
menyambung satu sama lain, gigiku lumayan rapi, aku juga sedikit jerawatan,
meski akhir-akhir ini kusadari sedikit bersih, warna kulitku tak menentu, namun
kini lebih sering terlihat cerah. Sedangkan Rangga, bibirnya tipis indah,
hidungnya tajam dan mancung, giginya bak serigala, sungguh manis bila dilihat,
warna kulitnya selalu tepat dipakainya. Bila coklat menghampiri, ia mulai nampak
masculine dan saat cerah hadir, ia berubah tampan sekaligus manis dengan rambut
yang tertata sesukanya.
Aku dan Rangga menjadi sahabat baik. Rangga yang mulanya
malas-malasan kini menjadi makin rajin di mata bapaknya yang juga seorang guru
matematika di sekolah kami. Hanya beliau tak tahu bahwa anaknya ke kos ku hanya
untuk bermain ps dengan teman sekamarku. Sedang aku menonton dari sampingnya,
kadang sambil aku tiduran, kadang sambil mengerjakan pr kami untuk ia bawa
pulang, tapi lebih sering dengan mondar mandir ke kamar teman gadisku yang
menanyakan tentang sosok Rangga yang selalu menarik perhatian orang itu.
Begitulah setiap malam ia habiskan di tempatku.
Suatu hari Rangga datang tanpa membawa laptop yang
biasanya mereka pakai bermain ps. Akhirnya aku punya waktu bersama sahabatku
ini. Aku terbaring di sampingnya yang duduk di tepi atas ranjangku. Kami sangat
dekat hingga mersakan kenyamanan kami. Aku mulai buka mulut dan bercerita. Kami
habiskan waktu malam itu dengan bercerita banyak hal tentang hidup kami.
Untungnya Sahrul, teman sekamarku tak terlalu mengganggu. Aku merasa senang,
akhirnya sebagai sahabatnya aku dapat memahami dan mengetahui kisah hidupnya
lebih dalam seperti yang para sahabat lain lakukan. Ia tipe orang yang cukup
acuh dan menutup diri dari menceritakan sisi dalam dirinya. Hingga malam mulai
memanggilnya pulang dan membuat hidupku kembali terasa hampa. Begitu hampa.
Seperti tak ada orang di sisiku lagi. Tak ada kehidupan, hanya ada kegelapan.
Begitu rasanya jika Rangga meninggalkanku meski Sahrul ada di kamar kami.
Jantungku serasa diremas, ngilu rasanya.
-------------------------------------------------------------------
Alisku dan Alismu Tebal
Suatu pagi yang indah aku berangkat ke sekolah
bermodalkan senyuman karena akan kembali bertemu dengan teman-teman dan semua
hal tentang sekolah yang aku sukai. Pintu kelas terlihat dari kejauhan.
Nampaknya pintu terbuka lebar, namun jendela masih tak tertembus mata karena
ada gorden yang membatasinya. Aku semakin riang melangkah. Tepat dua langkah
sebelum pintu kelas, kudengar Rangga menyebut namaku disela diskusi hangat
mereka pagi ini. Para pria di kelasku memang aneh semua, mereka sukanya ngerumpi.
“Angga itu ganteng sih, tapi sayang,, cuccok.” Serunya setengah berbisik pada
teman-teman yang lain. Aku melangkah pelan dengan amarah yang sesak di dadaku.
“Kenapa Rif? Apa salahku?” aku menangis dalam hatiku. Emosiku menumpuk. Kulihat
ia tak berkutik melihatku masuk tanpa mengucap salam kepada mereka.
Malam harinya aku sendiri di kamarku. Aku masih
memikirkan tentang apa yang terjadi hari ini. Rangga kali ini tidak datang, aku
sudah pesan agar ia tidak datang. Aku memang lemah, aku seperti gadis, terlalu
gemulai, tapi ini aku adanya, tak dapat kuubah, sudah dari sananya aku begini.
Apakah gelar sahabat yang selama ini ada tak berarti. Apakah aku kurang baik
sebagai sahabatnya? Pertanyaan-pertanyaan itu mengunang di kepalaku. Aku
benar-benar hancur. Aku terlalu mengandalkannya. Aku yang telah sangat nyaman
dengannya tiba-tiba hancur tanpa berbuat salah. Sadarkah ia telah menyakiti
hatiku? Aku beralis tebal, dain ia juga sama. Apakah ia tak mengerti rasanya
amarah yang begitu mudah meledak dan menyesakkan dada? Untungnya aku
menyukainya hingga tak kulakukan yang ingin kulakukan. Memukulnya. Ya, aku
menyukainya. Lebih tepatnya, mencintainya.
Hari-hariku kini kelabu.
Tanpa Rangga aku sayu. Namun dengannya aku rapuh. Rapuh warasku. Aku
menghabiskan hari-hariku dengan gejolak hati yang begitu mempermainkanku. Apa
aku harus berbaikan dengannya? Tapi aku mencintainya. Kini aku sadar, kata
sahabat yang selalu aku sebut seharusnya diganti idola. Kata setia kawan
harusnya ditempati oleh cinta. Cinta terlarang. Setiap kali mengingatnya aku
selalu menangis. Menangis mengingat jantungku yang berdetak lebih kencang,
wajahku yang memanas dan mataku yang dengan cepat ingin terpejam membayangkan
dapat tidur di pundaknya. “Rangga, aku minta maaf. Aku tak sengaja mencintaimu.
Aku harus melupakanmu. Tapi bagaimana? Kau selalu dekat. Berusah bersahabat
kembali. Tapi aku tak bisa. Aku tak bisa dekatmu. Aku harus melupakanmu.
Tenggelam bersama mimpi burukku.” Rangkaian kata-kata aneh mulai muncul tiap
kali keheningan menghampiri kelas yang memang harus selalu hening itu.
Kini
aku melangkah gontai sendiri, berusah menjauh semampuku, meski kadang lupa
daratan dan menjerit sendiri. Aku Angga, seorang lelaki ayng diakui
teman-temanku manis yang menyukai mantan sahabatku sendiri yang bernama Rangga.
Kadang kami terlibat adu mulut, perang dingin, kadang mencoba menempuh
kehangatan secara perlahan, namun itu sering kali tak berkelanjutan. Selalu ada
akar dalam pikiranku yang melarangku mendekatinya lagi. Berpura-pura
membencinya hingga teman-teman sekelasku mengira aku iri padanya. Meskipun aku
tak dapat terima, tapi ku paksakan agar iya. Meski begitu, kadang kala saat aku
benar-benar diujung isakku, aku memikirkan cara agar dapat member tahukan
kepadanya siapa aku ini. Ada apa denganku selama ini? Kenapa aku begini?
Detik-detik
merajut diri menghadirkan hari-hari yang mendirikan tanggal yang berbeda tiap
minggu, lalu bulan. Kini telah terhitung bulan bahkan tahun aku memendam rasa
aneh yang buatku kerap menggila ini. Aku tak tahu bagaimana caranya keluar dari
masalah ini karena aku tak pernah berani bercerita kepada siapapun. Siapapun. Aku
sampai terkena insomnia dan menghabiskan hampir setiap malamku hanya dengan
berjalan mengelilingi satu kompleks besar tempat kos ku terletak. Kurang lebih
aku berolahraga malam melelahkan kakiku dengan berjalan sejauh 3 kilometer
lebih tiap malam. Itu hitungan kasarku. Biasanya aku berjalan sekitar pukul 10
keatas, rata-rata pukul 12. “Aku gila karenamu Rangga.”
Suatu
hari aku mendapat ide. Ide ini bercerita tentang menghapus kegay-anku dengan
mencintai wanita. Dapatkah? Teringat aku akan sosok seorang gadis centil manja
yang selalu berusaha menarik perhatianku. Bahkan dengan cara bodoh dan
terang-terangan. Akupun mengakui bahwa aku juga terkena efeknya. Aku juga
mencintainya. Meskipun aku menyukai pria, namun rasa suka dan cintaku pada
wanita turut hadir dalam hidupku. Bahkan aku dapat dikatakan seorang pecinta
dahulunya. Seorang pecinta yang tak dapat meraih hati yang diidamkan. Sungguh
miris, nasib seorang pecundang sepertiku ini.
“Aku
dapat berubah. Aku bukan gay.” Teriakku semangat dalam hatiku karena tak
mungkin aku berani meneriakkan itu dengan suara yang dapat terdengar oleh orang
lain. Setidaknya cara ini juga cukup ampuh sebagai terapi rekomendasi para
psikolog dalam artikel yang kutemukan di internet. Tari akan menjadi obat itu.
Obat yang akan menjadi pengubahku. Tapi aku tak bisa begitu saja menembaknya.
Aku harus benar-benar yakin ia mencintaiku. Bukan Rangga. Sebab itu akan
benar-benar membunuh cinta murniku pada perempuan.
Tiba
satu malam penting dalam hidupku. Malam itu malam minggu. Aku sedang bermain
berramai-ramai dengan teman-teman di kos ku. Kami bergantian memasuki lapangan
tak berjaring. Saatnya aku istirahat. Aku teringat pada tari, inilah dia
perasaanku yang mulai menampakkan dirinya. Aku mulai berseluncur kedalam media
social facebook. Kucari namanya dan kubuka dialog pesan kami. “Hai cantik. Lagi
apa? Kangen kamu.” Tuturku kaku lewat kotak chat di akun facebookku. Ia
membalasku. Kuharap ia tak keberatan dengan kata-kataku. Benar saja, ia
membalas pesanku dengan jawaban yang menyenangkan. “Hai juga ganteng. Aku juga
kangen kamu.” Tuturnya membuat malamku berbunga-bunga.
“Aku suka kamu. Tapi
jangan bilang siapa-siapa yaah..” kaprahku benar-benar tak terampil
berkata-kata. Yaah,, aku memang pengecut yang buruk. Pacaran saja takut ketahuan.
“Iya aku juga suka sama kamu.” Iapun tak kalah lugasnya denganku. Dan,, yap
kami pacaran. Semudah itukah? Ya. Lalu apa yang terjadi? Kemudian aku membalas
pesannya lagi,”Hari senin aku ke kelasmu yaah.” Ujarku. “iyah aku tunggu yah..”
sambutnya riang. Tertutuplah percakapan kami malam itu.
Esoknya
aku perasaanku berubah menjadi kelabu, memikirkan kembali kehidupan yang begitu
rumit bagiku dan usiaku. Aku masih sulit menerimanya. Akupun kembali mengadu
pada facebook. Facebook memuat perasaanku yang kutulis diatasnya dengan baik
hingga banyak orang yang dapat membacanya. Isi tulisanku itu menyinggung tema
sahabat. Anehnya aku tak tahu masalahnya datang dari mana, yang pasti aku
mendapat kabar buruk bahwa teman sekelas tari yang dulu mereka juga merupakan teman
sekelasku kini membenciku. “kenapa?” batinku bingung tak terjelaskan. “Terus
kita ini kamu anggap apa?” kata-kata itulah yang menjadi awal perpecahan ini.
“apa maksudnya mereka ini? Aku bilang kan sahabat, bukan teman. Menurutku
tingkatan teman dan sahabat itu berbeda.” Aku menjadi aneh ketika seakan
teman-teman yang ku sayangi, para gadis yang sering bersamaku dahulu mulai
membenciku secara serentak. Hatiku bergejolak sedih. Masalah inipun semakin
runyam dengan tari yang kesal karena aku tak jadi menepati janjiku tuk datang
ke kelasnya. Bagaimana haku dapat ke kelasnya, aku sendiri keheranan karena
hampir seluruh gadis disana menghujamku sambil terisak. Itulah yang
kubayangkan. Aneh bukan bayanganku? Keadaan saat itu terasa rumit sekali.
“apakah mereka tahu bahwa aku berpacaran dengan tari? Apa karena itu mereka
marah?” pikiranku mulai ngawur, tapi itu sedikit masuk akal bagiku. Pasalnya,
ketika mendengar rumor palsu tentang Rangga yang berpacaran dengan seorang
gadis cantik yang masih satu sekolah dengan kami, mereka histeris dan terisak.
Diantara mereka ada yang berpesan padaku agar aku tak jatuh cinta apalagi
berpacaran seperti Rangga. “huuhhft.. apa mungkin?” teriak hatiku panjang.
Masalah
semakin runyam, begitu pula dengan hubunganku bersama tari yang tergantung oleh
kelemahanku. “Aku pengecut Hal seperti ini saja tak mampu ku lewati.” Maki
diriku sendiri. Mungkin aku memang tak bisa bersama lagi dengan tari. Kurasakan
hati dan cintaku yang memudar. Aku memang bajingan. Cinta yang pasang surut
tanpa sadar ku gunakan dan berakhir luka bagi seorang gadis. Menyadari hal ini,
aku meminta maaf kepada tari dengan tulus. Namun ia masih tak membiarkanku
menghubunginya.
Persahabatn,
Pertemanan, dan percintaanku hancur membawa serta prestasiku. Lalu siapakah
yang dapat membantuku? Menjadi obatku? Menggenggam tanganku dan menjadi
penguatku untuk bangkit?
Kini aku sudah naik
tingkat ke semester 4 ketika teman-teman seangkatan kami baru memasuki semester
ke 3 mereka di SMA ini. Yaah, kami sudah lebih tua sebelum waktunya. Entah
sudah berapa bulan sejak badai kehancuran hubunganku dengan sahabat, teman dan
kekasihku menerpa hidupku. Aku terlalu disibukkan oleh air mata, amarah, dan
urusan rumah tangga di kosku. Hari-hariku hanya berisi tangis yang
meledak-ledak, tawa hiperaktif yang menggila, berdiam diri, sekolah pulang-
sekolah pulang. Libur- meliburkan diri. Tidur dan susah tidur. Hanya dua hal
yang dapat menghapus ingatanku tentang dunia untuk sementara. Shalat dan nonton
film.
Suatu
hari aku ke kos teman gadisku untuk agenda nonto film dan makan bareng mereka.
Maklum, aku berasal dari keluarga sederhana yang beranggotakan banyak anak
sebagai tanggungan orang tuaku. Jadi aku tak bias membeli laptop seperti yang
selalu aku impikan. Untuk ngekos aja aku harus membuat temanku bias masuk SMA
dan kelas yang sama denganku, kelas aksel. Imbalnnya, aku dibolehkan tinggal
bersamanya dan ia yang membayarkanku. Begitu pula dengan agenda makan bersama
kami. Ini adalah agenda hebat yang kami para penghuni kos itu cetuskan demi
kebersamaan dalam menghadapi ‘krisis tanggal tua’ dan sebagainya.
Sampai
disana aku tak dibolehkan langsung memasuki kamar mereka karena seorang dari
dua sahabat itu sedang mandi. Akupun nurut dan duduk di emperan depan kamar. Di
depanku adalah jalan masuk para penghuni kos lain dan pemilik kos. Aku dan
gadis-gadis ini punya ibu kos yang sama. Hanya saja gedung kos kami berbeda,
karena sejak beberapa minggu lalu ibu kos berencana memisahkan perempuan dengan
lelaki. Tapi karena kami sudah terbiasa bermain bersama dan selalu berada
dibawah pengawasan ibu kos yang turut bergaul ramah dengan kami, ia
memperbolehkan kami tetap sering bertemu. Disinilah aku mengenalnya.
Berjalan
di depanku dua orang gadis cantik yang nampak asing. Seorang diantaranya
memakai jilbab dan yang satunya tidak. Rambutnya lurus terurai hingga kebawah
bahunya. Posturnya tinggi, namun terlihat mungil. Giginya menarik, membuat
senyumnya tergaris amat manis. Kulitnya hitam manis. Rasanya aku ingin
berkenalan, namun mereka berjalan sangat cepat.
“Angga
masuk sini!” panggil risma. Dia temanku yang sering dikejar-kejar laki-laki.
Cantik dengan postur pramugarinya. Perfect. Sahabatnya bernama Sri. Gadis hitam
manis yang sering terlihat seperti orang arab atau india. Itu karena dia memang
menyukai jenis kulit mereka yang mirip dengan kulitnya. Akupun masuk dan
berbasa-basi lalu mulai menyiapkan film untuk ditonton. “Eh, tadi aku liat ada
dua cewek yang jalan. Anak baru yah? Orang mana?” tanyaku pada dua gadis di
depanku yang masih sibuk dengan kegiatannya masing-masing. “Oh iya. Mereka murid
baru.” Jawab Sri yang masih sibuk dengan kosmetik kesukaannya. “Oh..” sambutku
sayu.
Beberapa
hari kemudian aku kembali berkunjung ke kamar Sri dan Risma.
“Assalaamu’alaikum..?” ucapku pelan setengah berteriak. Rasanya tenggorokanku
tersekat sesuatu setiap kali aku mengucap salam. Mungkin karena aku selalu
menahan suara lantangku. “Wa’alaikum salam… mari masuk Ngga.!” Jawab Sri. “Sini
Ngga.” Sambut Risma. “Wah..” betapa aku terkejut dan langsung bertingkah
menjaga image ku ketika menyadari masih ada satu orang lain di kamar itu.
“Nonton apa?” tanyaku basa-basi dan ikut bergabung. “Film Angga ee, gk usah
banyak tanya. Nonton aja.” Ujar Sri dengan logat daerah yang khas. “Iyajaa,(1)
tuh kenalan dulu sama dia.” Timpal risma menunjuk sosok gadis yang kemarin aku
kagumi. Aku tersenyum kepadanya dan ia membalas senyumku. “Angga.” Ucapku
menyodorkan tanganku kearahnya. “Indah.” Tuturnya kembali tersenyum sangat
manis menyambut tanganku. “Dari mana?” tanyaku kaku. “Dari Karumbu.(2)”
jawabnya masih tersenyum yang membuat jantung berdetak kencang. Apalagi aku
baru saja menyentuh tangannya. “Ooh, masuk kemana? SMAN 4?” tanyaku lagi.
“Iya.” Jawabnya menutup perkenalan kami. Aku memang tak terbiasa banyak bicara
saat berkenalan dengan orang baru. Ditambah ia adalah orang yang buat aku jatuh
cinta pada pandangan pertama, lidah yang kaku ini akan semakin membeku.
-------------------------------------------------
Malam Yang Pahit
Pertemuan tadi memakan banyak ruang dan waktu dalam
memoriku. Aku jadi memikirkannya terus menerus. “Indah.” Sahut batinku.
Hari-hari berikutnya aku mulai sering ke kos itu. Makan bersama mereka, nonton
bareng. Tak butuh waktu lama, aku dan Indah menjadi amat dekat. Makan kami
sepiring, kemana-mana limayan sering berdua. Terutama malam hari, karena saat
malamlah aku leluasa bertemu dengannya. Hingga suatu malam yang pahit, aku
mengajaknya keluar. Malam itu malam minggu.
“Indah,
habis makan keluar yuk.” Ajakku. “Kemana?” tanyanya. “Kemana aja, ayo.” Ujarku.
“Ayo, aku juga daritadi mau keluar. Bosan malam minggu di kos terus.” Katanya
lagi. “Soalnya aku mau ngomong sesuatu sama kamu. Hal penting. Penting sekali.”
Terpintas di otakku untuk mengutarakan perasaanku padanya. “Hm.. Apa? Yaudah
yuk kita cari makan cepetan. Aku penasaran nih.” Dia mulai tak sabar.
Sepertinya dia mencoba menerka apa yang akan aku katakan. “Aku mau kamu baca
satu surat. Tapi kamu harus janji klo ini rahasia kita berdua.” Tuturku meminta
kepastian darinya. “Aihh, jangan bikin Indah penasaran dong. Apaan sih isinya?
Ayo dong. Sekarang aja.” Ternyata dia malah semakin tidak sabaran. “Ntar. Ntar
aja, klo kita udah makan. Udah yuk, aku udah laper bgt nih.” Ktaku mengalihkan
pembicaraan dan menyeret tangannya berjalan keluar kos. Meskipun tak
memberontak, namunbibirnya masih saja mcerewet menagih surat itu cepat
diberikan padanya.
Waktu
makan telah usai. Aku dan dia mengendap keluar dari kos, takut ketahuan teman
yang lain. Kami sudah biasa makan bersama di kos meskipun nasinya di beli dari
luar.
“Kita kemana?” tanyanya.
“Jalan disekitar sini saja.” Ucapku. “Ok, mana suratnya?” tagihnya. “Sabar.”
Ucapku memandangi wajahnya. “Aku mau kasih tahu kamu klo aku sedang suka sama
seseorang.” Ujarku. “Siapa? Kak Tari?” jawabnya asal. “Bukan. Bukan dia.”
Sergahku. “Terus siapa?” katanya tak sabaran. “Aku suka sama,, sama,, sama,,
sama,,…” ucapku pelaan dan perlahan. “Kakak suka sama aku yah?” ujarnya tak
sabar menunggu kata-kataku. “Bukan.” Aku menjawabnya setelah sedikt berpikir
tentang apa yang harus aku lakukan. Ini lebih baik. Aku harus berbohong.
Nampaknya ia kecewa dengan penuturanku, tapi ia berhasil menguasai dirinya.
“Iya, terus siapa?” balasnya. “Yuk, cari tempat sepi.” Aku menarik tangannya
dan membawanya ke suatu tempat sepi di pinggir jalan. Aku yakin tak akan ada
yang mengganggu kami disini.
Aku
kemiudian mengeluarkan sepucuk surat dan kuberikan kepadanya. “Ini suratnya
yang harus kamu baca. Didalamnya ada nama orang yang sedang aku cinta. Kamu
akan tahu setelah membaca surat itu.” Ucapku. Indahpun mengambil surat dariku
itu. Kali ini ia lebih tenang. Ia membuka surat itu perlahan. Membacanya agak
serius. Baru ditengah surat ia mengangkat kepalanya memandangku. Aku yang
tengah memandang kosong ke depan dapat merasakannya dari sudut mataku. “Kak?”
tanyanya tak percaya. “Baca dulu sampai akhir.” Pintaku. Masih menatap kosong
ke depan. Iapun menurutinya.
“Yah,
aku suka sama Arif. Teman sekelasku yang diidolakan oleh teman-temanmu itu.”
Aku mulai mengungkapkan semuanya sendiri setelah kurasa waktunya membaca sudah
cukup. “Sejak kapan?” tanyanya dengan dahi mengerut. “Sejak kelas satu. Tapi
aku selalu ingin melupakannya. Hanya saja aku tak tahu caranya.” Jelasku. Ia
terdiam. Aku yakin ia tergencang. “Aku sebenarnya mau memberikan surat ini
kepadanya. Mungkin itu bias membantu.” Kataku lagi. Ia masih terdiam. “Jangan.
Aku yakin kakak pasti bias berubah.” Tuturnya memecah kesunyian malam yang
remang itu. “Tapi bagaimana?” aku mencoba mencari tahu perasaannya terhadapku
setelah tahu aku suka pada manusia sejenisku. “Pacaran. Kakak harus pacaran
agar bisa melupakannya.” Nampaknya ia masih belum berubah perasaannya padaku.
“Iya, aku juga berharap seperti itu. Tapi dengan siapa?” tanyaku lagi. “Kak
Tari.” Usulnya. “Tapi Tari masih marah sama kakak.” Tuturku. “Minta maaf aja.”
Usalnya lagi. “Sudah, tapi tak ada jawaban pasti.” “Siapa yah?” katanya sambil
mengingat-ngingat. “Kamu aja.” Jawabku dalam hati. Aku terlalu takut kalau ia
akan menolak karena sepertinya ia butuh waktu untuk mengertiku meskipun di
depanku ia berlagak mengerti. “Tapi pokoknya kakak berusaha yaah. Aku akan
bantu kakak nyariin obat buat kakak.” Katanya setelah lama mengingat-ngingat.
“OK.” Jawabku. “Udah yuk, kita pulang ntar lama-lama kakak bisa makin sedih.”
Katanya khawatir melihatku yang menerawang udara yang transparan. “Jangan
dulu.” Cegahku. “Aku masih mau ngomong sama kamu.” Ia kembali terdiam. “Indah..
kamu janji yah, kamu gk akan berubah dan meninggalkan kakak. Bantu kakak.
Bantuin kakak berubah.” Ucapku menatap lekat wajahnya. Ia memejamkan matanya
sebagai isyarat ia yakin sepenuh hati dengan ucapannya. “Iya kak, Indah gk akan
tinggalin kakak. Pokoknya kita harus cepat nemuin obat buat kakak.” “Makasih
ya..” ucapku tulus menggenggam tangannya. “Udah yuk, pulang.” Ajaknya. “Ok,
tapi surat ini mau diapakan?” tanyaku. “Buang, atau dibakar aja.” Usulnya. Lalu
aku mengeluarkan korek api yang telah kusediakan. “Kamu mau gk bakarin ini buat
kakak?” lalu aku memegang surat itu dan ia yang membakarnya. Kamipun pulang
saling bergenggaman tangan.
--------------------------------------------------
Obat Terindahku
Kini setahun telah berlalu. “Indah, kakak saying sama
kamu. Kakak cinta sama kamu. Kamu mau kan nungguin kakak?” sambil tersenyum aku
mengirm pesan itu kepadanya. “Iya kak, Indah akan nungguin kakak. J”
15 & 16 Desember 2015
adalah tanggal jadian kami tepat pukul 24.00 WIB dan 01.00 WITA. Long Distance
Relationship. I love u.
Ok,, that's my romance story guys.. Tp, harus ku akui, kini aku masih punya rasa suka kepada teman sejenis. Buktinya sekarang aku ada disini. :) Leave a comment please.. :)
Jangan lelah untuk menunggu lanjutan kisah Rian sahabatku Yaah.. ;)
bagus ceritanya krg pjg
ReplyDeleteMasih kurang panjang? Hihihi.. Ok deh.. :D Makasih komentarnya :)
DeleteSalam kenal ya. Kalau punya line ini I'd line Aku @Franstermania23 ntar Kita bisa ngobrol by line aja... Makasih
ReplyDelete